Wahh, rasanya hampir tiap hari posting di blog, baik di www.memoarbunda.blogspot.com
maupun www.duniakita15.blogspot.com
>.< It means im in galau mode
T.T Dua minggu tak bertemu Almandaffa. Lantaran kehabisan tiket bus maupun
kereta (sedang musim libur sekolah). Mepet sih saia pesan tiketnya, maklum akibat
ketidakjelasan info kuliah. :’(
Anyhow, now i
just wanna share whats on my mind. Terbersit, ingin
bercerita pengalaman pribadi, yang maybe
it can change Indonesia especially in informal bussines. If we do it together, you, me, us, we. Berawal
dari obrolan ringan dengan teman sebangku saat kuliah SPK (Seminar Pemberantasan Korupsi). Tentang dia yang
serba dilema dalam memberikan sedekah kepada para pengemis maupun pengamen. Tentang
betapa diberdayakannya anak2 di bawah umur untuk mengemis. Tentang “malas”nya
pemuda pengamen itu untuk sekadar mencari kerja yang lebih baik, dst.
Saya juga hanya bisa mendengar saksama curahan hatinya. Sambil menimpali:
kalau sudah niat sedekah, tak usah lah diungkit untuk siapa dan bagaimana, jika
enggan memberikan pada pengemis/pengamen its
ok, thats our choice. Masalah pahala, ya siapa yang tau, tergantung niat
dalam hati dan keikhlasannya.
Sebenarnya masalah sosial ini pun adalah penumpukan dari ketidakpedulian
kita juga, sebagai sesama saudara maupun masyarakat. Yang seharusnya, kita
membantu mereka keluar dari pekerjaan tersebut, memberikan pekerjaan dan
pelatihan ketrampilan yang layak. Membangun
mentalnya agar menghargai suatu kerja keras dari usaha, bukan menadahkan
tangan mengharap iba manusia lain. Juga turut serta peran pemerintah di
dalamnya, melalui Kementrian Sosial dkk, agar terjadi pemerataan pembangunan
dan tercipta lowongan pekerjaan bagi mereka. Sayangnya, kita pribadi –termasuk saya-
kadang terlalu larut akan masalahnya sendiri dan kepentingannya masing2. :’(
------------
Lalu pikiranku melayang tak tentu arah. Menerawang, berandai-andai. Indonesia
sebenarnya adalah negara yang cukup “kuat” di tengah krisis yang melandanya. Ketika
tahun 1998, ataukah saat terkena dampak krisis Amerika Serikat maupun kawasan Eropa.
Hal ini karena disokong oleh buanyaakknya wirausaha bisnis informal yang terus
bergerak. Dan dari kegiatan ekonomi rakyat2 kecil itulah salah satu hal yang
terus menggerakkan denyut nadi perekonomian.
Sekilas bercerita tentang keadaan di rumah mertua di Magelang. Dimana
selalu terjadi jual beli antar sesama tetangga. Seperti ibu saya yang jual
barang kelontong sehari2, dg pembelinya ialah para penjual gorengan, mie ayam,
bakso, bakmi jawa, dkk. Nah, gorengan, bakso, mie ayam dkk itu pun dijajakan
hanya seputar kampung saja, dan laris manis, ibu saya termasuk salah satu
pembeli setianya. Artinya apa? Terjadi perputaran uang yang cukup besar,
diputar dalam satu kampung tersebut, dan pada akhirnya dapat memberikan laba ke
masing2 keluarga, menghidupi keluarganya. Itu hanya saya contohkan di kampung
kecil 1 RW saja, nah bagaimana jika dalam lingkup se-Indonesia? Mantap bukan?
Namun sayangnya, para “pebisnis” informal tersebut kadang kurang diapresiasi oleh masyarakat kebanyakan. Dimana
seperti kita tahu, masyarakat kita pada umumnya, cenderung lebih suka shopping di mall, hypermarket, dan
cafe/restoran yang ternama. In this case,
Magelang yang baru saja dibangun mall pertamanya: Armada Town Square saja, plus
keberadaan Indomaret-Alfamart saja, sudah cukup terasa dampaknya bagi kalangan
penjual kecil. Ibu mertua dan tetangga pun kadang berkeluh kesah pada saia. *Err,,lebih tepatnya saia pendengar pasif
saja.. #nguping sambil momong anak :D Dengan keberadaan gerai2 perusahaan
mapan tersebu, juga berdampak pada masyarakat kecil, terutama penjaja makanan
jadi dan kelontong.
Sudah sering, saya membiasakan untuk mengapresiasi mereka, salah satunya
dengan mengucap terima kasih yang tulus *sambil
tersenyum maniss ya... ^_^ dan memberikan tips sebagai reward/apresiasi bagi mereka. Hal ini untuk memberikan suntikan
semangat bagi mereka untuk bertahan di kondisi ekonomi yang sulit seperti
sekarang ini. Ucapan terima kasih saja sudah sangat senang, mengingat jaman
sekarang sudah jarang sekali orang mempraktekkannya.
Harapan saya, hal tersebut dapat memberikan efek surprise bagi mereka, diharapkan mereka semakin semangat bekerja
dan meningkatkan level usaha/pelayanannya menjadi lebih tinggi dan baik. Dengan
“apresiasi” tersebut, mereka akan berpikir: “apa yang telah saya lakukan
sehingga mendapat uang lebih?” Ini akan menstimulasi mereka mengevaluasi
pekerjaan dan usahanya sehingga diharapkan dapat memberikan ide untuk berusaha
yang lebih baik lagi demi mendapatkan penghargaan lainnya dari pelanggan.
------------
Seribu duaribu rupiah, mungkin bagi kita tak ada artinya, kadang hanya
terbuang untuk jasa parkir. Tapi bagi mereka para penjual informal, hal
tersebut sangat berarti. Yuk, mulai kita biasakan, dan tularkan ke yang lain, “ekonomi
apresiasi” ini sebagai semangat kebersamaan dan gotong royong ekonomi yang sekarang
sudah terkikis oleh budaya materialis dan individualis. :’( Penjual koran,
tukang sayur, penjual kerupuk, penjaja camilan, penjual bakso keliling, tukang
bersih toilet mall, dll. Belanja di mall, cafe, dan sekelompok ekonomi
kapitalis besar pasti merogoh kocek banyak dan kita tak pernah menawar, masak
sama pedagang kecil, yang kadang hanya ambil laba sedikit, kita masih tega
menawar? ^^ *emak2banget ini.. :p
Jika ada 1 juta saja masyarakat Indonesia mau berperan aktif (0,4%)
melakukannya, dengan tips hanya Rp 1000, maka akan beredar apresiasi Rp 1
milyar ke wirausaha kecil tersebut. Hal ini akan sangat membantu mereka
menyekolahkan anak-anak dan menabung walau tidak seberapa. *Well, semoga uangnya bukan untuk mengepul
asap aja.. (baca: rokok) hehe.. :p
“Ekonomi apresiasi” ini
(sejak kapan saia jadi pake istilah ini? ^^) lebih bermanfaat dan berguna
daripada sekadar diberikan pada pengemis di pinggir jalan (bukan berarti saia melarang utk memberi pengemis ya, saia juga sering
kasih ke pengemis kok, tapi liat2 orangnya.. :p) karena akan merangsang
golongan ekonomi lemah untuk berusaha daripada tidak berbuat apa-apa. Jangan pelit
untuk senyum dan bilang terima kasih, dan berkata: “ambil saja kembaliannya,
bu”, “buat bapak saja kembaliannya”, bila berhadapan dg pelaku usaha kecil. Hal
ini pasti membuat mereka surprise,
tersenyum dan kembali bersemangat untuk berusaha lebih baik lagi. Siapa tahu
mereka juga akan tertular, ketika membeli barang ke rekan sesama “pengusaha
kecil”: mengapresiasi mereka, minimal mengucapkan terima kasih dan senyum. Juga
tips.
***Sebuah catatan
harian absurd, tanpa referensi, hanya sekadar berandai, dan sebuah
ke-optimis-an untuk merubah Indonesia lebih baik, setidaknya mulai dari diri
sendiri dan lingkungan sekitar saia. Semoga bisa memberikan semangat ke temen2
untuk melakukan hal yang sama.. =) #kayak ada yang baca aja,,wkwkwkwkk...
***Still,, i miss my
Almandaffa.. =’( #sabar,kuatkan mental... >_<
0 comments:
Post a Comment